Wednesday 22 May 2013

Partisipasi Politik


A. Sifat dan Definisi Patisipasi Politik
Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, tetapi dengan berkembangnya demokrasi banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin memengaruhi proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan umum. Kelompok - kelompok ini lahir di masa pascaindustrial (post industrial) dan dinamakan gerakan social baru (new social movement).Berdasarkan definisi umum, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Herbert McClosky seorang tokoh masalah partisipasi berpendapat bahwa partisipasi politik yaitu kegiatan - kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.
            Hal yang dibahas dalam partisipasi politik yang utama adalah tindakan – tindakan yang bertujuan untuk memengaruhi keputusan - keputusan pemerintah, sekalipun fokus utamanya lebih luas tetapi abstrak, yaitu usaha - usaha untuk memengaruhi alokasi nilai secara otoritatif untuk masyarakat. Dalam hubungan dengan negara - negara baru, Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice:  Political Participation in Developing countries memberi tafsiran yang lebih luas dengan memasukkan secara eksplisit tindakan  ilegal dan kekerasan. Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi - pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.
            Partai politik erat sekali kaitannya dengan kesadaran politik, karena semakin sadar bahwa dirinya diperintah, orang kemudian menuntut diberikan hak bersuara dalam penyelenggaraan pemerintah. Para sarjana yang mengamati masyarakat demokrasi Barat cenderung berpendapat bahwa yang dinamakan partisipasi politik hanya terbatas pada kegiatan sukarela saja, yaitu kegiatan yang dilakukan tanpa paksaan atau tekanan dari siapa pun. Beberapa sarjana yang banyak mempelajari negara - negara komunis dan berbagai negara berkembang, cenderung berpendapat bahwa kegiatan yang tidak sukarela pun tercakup, karena sukar sekali untuk membedakan antara kegiatan yang benar - benar sukarela  dan kegiatan yang dipaksakan secara terselubung, baik oleh penguasa maupun oleh kelompok lain. Huntington dan Nelson misalnya membedakan antara partisipasi yang bersifat otonom dan partisipasi yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh pihak lain. Ada juga yang menamakan gejala terakhir ini sebagai regimented participation. Ada pula pendapat bahwa partisipasi politik hanya mencakup kegiatan yang bersifat positif. Akan tetapi Huntington dan Nelson menganggap bahwa kegiatan yang ada unsur destruktifnya seperti demonstrasi, teror, pembunuhan politik, dan lain - lain, merupakan suatu bentuk partisipasi.
            McClosky mengemukakan bahwa sikap apati diartikan sebagai hal yang positif karena memberi fleksibilitas kepada sistem politik, dibanding dengan masyarakat yang mengalami partisipasi berlebih - lebihan dan di mana warganya terlalu aktif, sehingga menjurus ke pertikaian, fragmentasi, dan instabilitas sebagai manifestasi ketidakpuasan. Apatis tidak menunjuk pada rasa kecewa atau frustasi, akan tetapi sebagai manifestasi rasa puas dan kepercayaan terhadap sistem politik yang ada. Maka dari itu, di negara - negara demokrasi Barat, gejala tidak memberi suara dapat diartikan sebagai mencerminkan stabilitas dari sistem politik yang bersangkutan. Pandangan tersebut juga dikemukakan oleh Robert Dahl, sedangkan Galen A. Irwin menyimpulkan bahwa dalam keadaan tertentu, perasaaan puas menyebabkan partisipasi yang lebih rendah.
B. Partisipasi Politik di Negara Demokrasi
Kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik menunjukkan berbagai bentuk dan intensitas. Biasanya diadakan pembedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan intensitasnya. Orang yang mengikuti kegiatan secara tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri (seperti memberikan suara dalam pemilihan umum) besar sekali jumlahnya. Sebaliknya, kecil sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Terdapat dua piramida pola partisipasi, piramida partisipasi yang pertama menurut Milbrath dan Goel dikemukakan bahwa masyarakat di Amerika dibagi dalam tiga kategori, yaitu: (1) Pemain atau Gladiators, (2) Penonton atau Spectators, (3) Apatis atau Apathetics. Piramida partisipasi yang kedua disampaikan oleh David F. Roth dan Frank L. Wilson bahwa masyarakat dibagi dalam empat kategori, yaitu: (1) Aktivis atau Activists (2) Partisipan atau Participants (3) Penonton atau Onlookers (4) Apolitis atau Apoliticals.
Suatu bentuk partisipasi yang paling mudah diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umum, antara lain melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya disbanding dengan jumlah seluruh warga yang berhak memilih. Suara dalam pemilihan umum bukan merupakan satu - satunya bentuk partisipasi. Angka hasil pemilihan umum hanya memberikan gambaran kasar mengenai partisipasi itu. Masih terdapat berbagai bentuk partisipasi lain yang berjalan secara continue dan tidak terbatas pada masa pemilihan umum saja. Penelitian mengenai partisipasi politik di luar pemberian suara dalam pemilihan umum dilakukan oleh Gabriel A. Almond dan Sidney Verba yang dituangkan dalam karya klasik Civic Culture ditemukan beberapa hal yang menarik. Dibanding dengan warga di beberapa negara Eropa Barat, orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk memberi suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi - organisasi seperti organisasi politik, bisnis, profesi, petani, dan sebagainya.
C. Partisipasi Politik di Negara Otoriter
            Di negara - negara otoriter seperti komunis pada masa lampau, partisipasi massa umumnya diakui kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat. Akan tetapi tujuan utama partisipasi massa dalam masa pendek masyarakat adalah merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern, produktif, kuat, dan berideologi kuat. Persentase partisipasi yang tinggi dalam pemilihan umum dianggap dapat memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Dalam pemilihan umum angka partisipasi hampir selalu mencapai lebih dari 99%. Akan tetapi perlu diingat bahwa sistem pemilihan umum negara otoriter berbeda dari sistem di negara demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang diperebutkan, dan para calon itu harus melampaui suatu proses penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh Partai Komunis.
D. Partisipasi Politik di Negara Berkembang
            Negara - negara berkembang yang non-komunis menunjukkan pengalaman yang berbeda - beda. Kebanyakan negara baru ini ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar keterbelakangannya, karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya pembangunan banyak bergantung pada partisipasi rakyat. Di beberapa negara berkembang, partisipasi yang bersifat otonom artinya lahir dari diri mereka sendiri, masih terbatas. Samuel P. Huntington berpendapat bahwa pembangunan yang cepat dan ikut sertanya banyak kelompok baru dalam politik dalam waktu yang singkat dapat mengganggu stabilitas. Negara yang semula diperintah oleh minoritas kulit putih cepat - cepat membuka peluang bagi peran - peran rakyat kulit hitam untuk menghindari krisis partisipasi yang lebih berbahaya.
E. Partisipasi Politik Melalui New Social Movements (NSM) dan Kelompok - Kelompok Kepentingan
            Salah satu sebab munculnya kelompok adalah bahwa orang mulai menyadari bahwa suara satu orang (misalnya dalam pemilihan umum) sangat kecil pengaruhnya, terutama di negara - negara yang penduduknya berjumlah besar. T. Tarrow dalam bukunya Power in Movement (1994) berpendapat bahwa gerakan sosial atau social movement adalah tantangan kolektif oleh orang - orang yang mempunyai tujuan bersama berbasis solidaritas (yang dilaksanakan) melalui interaksi secara terus - menerus dengan para elite, lawan - lawannya, dan pejabat - pejabat. Di samping itu, salah satu definisi lain mengenai kelompok kepentingan adalah suatu organisasi yang berusaha untuk memengaruhi kebijakan publik dalam suatu bidang yang penting untuk anggota - anggotanya. Berbeda dengan birokrasi dari partai - partai tradisional, kelompok - kelompok NSM cenderung tersegmentasi, tersebar luas tanpa fokus, dan tidak sentralistis.
F. Beberapa Jenis Kelompok
            Karena beragamnya kelompok - kelompok  kepentingan ini Gabriel A. Almond dan Bingham G. Powell dalam buku Comparative Politics Today: A World View (1992) yang diedit bersama, membagi kelompok kepentingan dalam empat kategori :
            1. Kelompok Anomi
            Kelompok - kelompok ini tidak mempunyai organisasi, tetapi individu - individu yang terlibat merasa mempunyai perasaan frustasi dan ketidakpuasan yang sama. Jika keresahan tidak segera diatasi, maka masyarakat dapat memasuki keadaan anomi, yaitu situasi chaos dan lawlessness yang diakibatkan runtuhnya perangkat nilai dan norma yang sudah menjadi tradisi, tanpa diganti nilai - nilai baru yang dapat diterima secara umum. Contohnya demonstrasi di Tiananmen Square tahun 1950-an.
            2. Kelompok Nonasosiasional
            Kelompok kepentingan ini tumbuh berdasarkan rasa solidaritas pada sanak saudara, kerabat, agama, wilayah, kelompok etnis, dan pekerjaan. Kelompok - kelompok ini biasanya tidak aktif secara politik dan tidak mempunyai organisasi ketat, walaupun lebih mempunyai ikatan daripada kelompok anomi. Contohnya Paguyuban Pasundan.
            3. Kelompok Institusional
            Kelompok - kelompok formal yang berada dalam atau bekerja sama secara erat dengan pemerintahan seperti birokrasi dan kelompok militer. Contohnya KORPRI
            4. Kelompok Asosiasional
            Terdiri atas serikat buruh, kamar dagang, asosiasi etnis dan agama. Organisasi - organisasi ini dibentuk dengan suatu tujuan yang eksplisit, mempunyai organisasi yang baik dengan staf yang bekerja penuh waktu. Contohnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
            5. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia
            Di Indonesia LSM sepadan dengan NSM serta kelompok kepentingannya, dan dalam banyak hal terinspirasi oleh koleganya dari luar negeri. Ideologi serta cara kerjanya pun banyak miripnya. Secara historis di Indonesia, LSM ada sejak awal abad ke-20. Menjelang 1960-an muncul LSM - LSM yang tidak saja merupakan perwujudan kritik terhadap LSM jenis sebelumnya, tetapi sekaligus juga perwujudan dari kritik terhadap strategi pembangunan yang dianut pemerintah yang dikenal sebagai trickle down effect. Roem Topatimasang seorang aktivis LSM senior di Indonesia, menyebutkan 5 kelompok paradigma, yaitu paradigma kesejahteraan, paradigma modernisasi, paradigma reformasi, paradigma pembebasan, paradigma transformasi. Dewasa ini terdapat 4000-7000 LSM di Indonesia belum termasuk yang timbul-tenggelam dan terbentuk secara mendadak karena ada proyek. Beberapa persoalan yang dihadapi di antaranya adalah memperbaiki dukungan dan akuntabilitas keuangan, meningkatkan kecakapan manajemen dan organisasi, meningkatkan kemampuan advokasi, dan meningkatkan cakupan geografis kegiatannya.
G. Kesimpulan
            Studi tentang partisipasi politik sangat fokus pada partai politik sebagai pelaku utama, dan kelompok masyarakat muncul akibat demokrasi semakin berkembang untuk mengambil keputusan tentang kebijakan umum. Definisi partisipasi politik secara umum yaitu kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan cara memilih pimpinan negara secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi politik sangat erat kaitannya dengan kesadaran politik,
            Dalam partisipasi politik di negara demokrasi, suatu bentuk partisipasi yang paling mudah diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umum, antara lain melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya dibanding dengan jumlah seluruh warga negara yang berhak memilih. Suara dalam pemilihan umum bukan satu - satunya bentuk partisipasi. Masih terdapat berbagai bentuk partisipasi lain yang berjalan secara bertahap dan tidak terbatas pada masa pemilihan umum saja.
            Di negara - negara otoriter seperti komunis pada masa lampau, partisipasi massa diakui kewajarannya, karena kekuasaan ada di tangan rakyat. Akan tetapi tujuan utamanya yaitu merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern, produktif, kuat, dan berideologi kuat.
            Di negara berkembang, partisipasi yang bersifat otonom artinya lahir dari mereka sendiri dan masih terbatas. Pembangunan yang cepat dan ikut sertanya benyak kelompok baru dalam politik dalam waktu singkat dapat mengganggu stabilitas. Dan mereka akan berikhtiar mengendalikan intensitas partisipasi agar tidak terlalu mengganggu stabilitas nasional.
            Partisipasi politik melalui NSM dan kelompok kepentingan dengan cara menggabungkan diri dengan orang lain menjadi satu kalompok, dengan tujuan memengaruhi kebijakan pemerintah agar mendapat keuntungan.untuk para anggotanya.
            Beberapa jenis kelompok kepentingan, diantaranya kelompok anomi (contohnya demo di Tiananmen Square), kelompok nonasosiasional (contohnya Paguyuban Pasundan), kelompok institusional (contohnya KORPRI), kelompok asosiasional (contohnya IDI), dan LSM (contohnya Persatuan Keluarga Berencana Indonesia atau PKBI).

0 comments:

Post a Comment