A.
Sifat dan Definisi Patisipasi Politik
Pada awalnya
studi mengenai partisipasi politik memfokuskan diri pada partai politik sebagai
pelaku utama, tetapi dengan berkembangnya demokrasi banyak muncul kelompok
masyarakat yang juga ingin memengaruhi proses pengambilan keputusan mengenai
kebijakan umum. Kelompok - kelompok ini lahir di masa pascaindustrial (post industrial) dan dinamakan gerakan
social baru (new social movement).Berdasarkan
definisi umum, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok
orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan
jalan memilih pimpinan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Herbert McClosky seorang tokoh masalah partisipasi berpendapat bahwa
partisipasi politik yaitu kegiatan - kegiatan sukarela dari warga masyarakat
melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara
langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Hal yang dibahas dalam partisipasi politik yang utama
adalah tindakan – tindakan yang bertujuan untuk memengaruhi keputusan - keputusan
pemerintah, sekalipun fokus utamanya lebih luas tetapi abstrak, yaitu usaha -
usaha untuk memengaruhi alokasi nilai secara otoritatif untuk masyarakat. Dalam
hubungan dengan negara - negara baru, Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson
dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing
countries memberi tafsiran yang lebih luas dengan memasukkan secara
eksplisit tindakan ilegal dan kekerasan.
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson berpendapat bahwa partisipasi politik
adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi - pribadi, yang dimaksud
untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa
bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau
sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau
tidak efektif.
Partai politik erat sekali kaitannya dengan kesadaran
politik, karena semakin sadar bahwa dirinya diperintah, orang kemudian menuntut
diberikan hak bersuara dalam penyelenggaraan pemerintah. Para sarjana yang
mengamati masyarakat demokrasi Barat cenderung berpendapat bahwa yang dinamakan
partisipasi politik hanya terbatas pada kegiatan sukarela saja, yaitu kegiatan
yang dilakukan tanpa paksaan atau tekanan dari siapa pun. Beberapa sarjana yang
banyak mempelajari negara - negara komunis dan berbagai negara berkembang,
cenderung berpendapat bahwa kegiatan yang tidak sukarela pun tercakup, karena
sukar sekali untuk membedakan antara kegiatan yang benar - benar sukarela dan kegiatan yang dipaksakan secara
terselubung, baik oleh penguasa maupun oleh kelompok lain. Huntington dan
Nelson misalnya membedakan antara partisipasi yang bersifat otonom dan
partisipasi yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh pihak lain. Ada juga yang
menamakan gejala terakhir ini sebagai regimented
participation. Ada pula pendapat bahwa partisipasi politik hanya mencakup
kegiatan yang bersifat positif. Akan tetapi Huntington dan Nelson menganggap
bahwa kegiatan yang ada unsur destruktifnya seperti demonstrasi, teror,
pembunuhan politik, dan lain - lain, merupakan suatu bentuk partisipasi.
McClosky mengemukakan bahwa sikap apati diartikan sebagai
hal yang positif karena memberi fleksibilitas kepada sistem politik, dibanding
dengan masyarakat yang mengalami partisipasi berlebih - lebihan dan di mana
warganya terlalu aktif, sehingga menjurus ke pertikaian, fragmentasi, dan
instabilitas sebagai manifestasi ketidakpuasan. Apatis tidak menunjuk pada rasa
kecewa atau frustasi, akan tetapi sebagai manifestasi rasa puas dan kepercayaan
terhadap sistem politik yang ada. Maka dari itu, di negara - negara demokrasi
Barat, gejala tidak memberi suara dapat diartikan sebagai mencerminkan
stabilitas dari sistem politik yang bersangkutan. Pandangan tersebut juga
dikemukakan oleh Robert Dahl, sedangkan Galen A. Irwin menyimpulkan bahwa dalam
keadaan tertentu, perasaaan puas menyebabkan partisipasi yang lebih rendah.
B.
Partisipasi Politik di Negara Demokrasi
Kegiatan yang
dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik menunjukkan berbagai bentuk dan
intensitas. Biasanya diadakan pembedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan
intensitasnya. Orang yang mengikuti kegiatan secara tidak intensif, yaitu
kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan
prakarsa sendiri (seperti memberikan suara dalam pemilihan umum) besar sekali
jumlahnya. Sebaliknya, kecil sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh
waktu melibatkan diri dalam politik. Terdapat dua piramida pola partisipasi,
piramida partisipasi yang pertama menurut Milbrath dan Goel dikemukakan bahwa
masyarakat di Amerika dibagi dalam tiga kategori, yaitu: (1) Pemain atau Gladiators, (2) Penonton atau Spectators, (3) Apatis atau Apathetics. Piramida partisipasi yang kedua
disampaikan oleh David F. Roth dan Frank L. Wilson bahwa masyarakat dibagi
dalam empat kategori, yaitu: (1) Aktivis atau Activists (2) Partisipan atau Participants
(3) Penonton atau Onlookers (4)
Apolitis atau Apoliticals.
Suatu bentuk
partisipasi yang paling mudah diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara
dalam pemilihan umum, antara lain melalui perhitungan persentase orang yang
menggunakan hak pilihnya disbanding dengan jumlah seluruh warga yang berhak
memilih. Suara dalam pemilihan umum bukan merupakan satu - satunya bentuk
partisipasi. Angka hasil pemilihan umum hanya memberikan gambaran kasar
mengenai partisipasi itu. Masih terdapat berbagai bentuk partisipasi lain yang
berjalan secara continue dan tidak
terbatas pada masa pemilihan umum saja. Penelitian mengenai partisipasi politik
di luar pemberian suara dalam pemilihan umum dilakukan oleh Gabriel A. Almond
dan Sidney Verba yang dituangkan dalam karya klasik Civic Culture ditemukan beberapa hal yang menarik. Dibanding dengan
warga di beberapa negara Eropa Barat, orang Amerika tidak terlalu bergairah
untuk memberi suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif
mencari pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan
lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi - organisasi seperti organisasi
politik, bisnis, profesi, petani, dan sebagainya.
C.
Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Di negara - negara otoriter seperti
komunis pada masa lampau, partisipasi massa umumnya diakui kewajarannya, karena
secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat. Akan tetapi tujuan utama
partisipasi massa dalam masa pendek masyarakat adalah merombak masyarakat yang
terbelakang menjadi masyarakat modern, produktif, kuat, dan berideologi kuat.
Persentase partisipasi yang tinggi dalam pemilihan umum dianggap dapat
memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Dalam pemilihan umum angka
partisipasi hampir selalu mencapai lebih dari 99%. Akan tetapi perlu diingat
bahwa sistem pemilihan umum negara otoriter berbeda dari sistem di negara
demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang
diperebutkan, dan para calon itu harus melampaui suatu proses penyaringan yang
ditentukan dan diselenggarakan oleh Partai Komunis.
D.
Partisipasi Politik di Negara Berkembang
Negara - negara berkembang yang
non-komunis menunjukkan pengalaman yang berbeda - beda. Kebanyakan negara baru
ini ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar keterbelakangannya,
karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya pembangunan banyak bergantung pada
partisipasi rakyat. Di beberapa negara berkembang, partisipasi yang bersifat
otonom artinya lahir dari diri mereka sendiri, masih terbatas. Samuel P.
Huntington berpendapat bahwa pembangunan yang cepat dan ikut sertanya banyak
kelompok baru dalam politik dalam waktu yang singkat dapat mengganggu
stabilitas. Negara yang semula diperintah oleh minoritas kulit putih cepat -
cepat membuka peluang bagi peran - peran rakyat kulit hitam untuk menghindari krisis
partisipasi yang lebih berbahaya.
E.
Partisipasi Politik Melalui New Social
Movements (NSM) dan Kelompok - Kelompok Kepentingan
Salah satu sebab munculnya kelompok
adalah bahwa orang mulai menyadari bahwa suara satu orang (misalnya dalam
pemilihan umum) sangat kecil pengaruhnya, terutama di negara - negara yang
penduduknya berjumlah besar. T. Tarrow dalam bukunya Power in Movement (1994) berpendapat bahwa gerakan sosial atau social movement adalah tantangan
kolektif oleh orang - orang yang mempunyai tujuan bersama berbasis solidaritas
(yang dilaksanakan) melalui interaksi secara terus - menerus dengan para elite,
lawan - lawannya, dan pejabat - pejabat. Di samping itu, salah satu definisi
lain mengenai kelompok kepentingan adalah suatu organisasi yang berusaha untuk
memengaruhi kebijakan publik dalam suatu bidang yang penting untuk anggota -
anggotanya. Berbeda dengan birokrasi dari partai - partai tradisional, kelompok
- kelompok NSM cenderung tersegmentasi, tersebar luas tanpa fokus, dan tidak sentralistis.
F.
Beberapa Jenis Kelompok
Karena beragamnya kelompok -
kelompok kepentingan ini Gabriel A.
Almond dan Bingham G. Powell dalam buku Comparative
Politics Today: A World View
(1992) yang diedit bersama, membagi kelompok kepentingan dalam empat kategori :
1. Kelompok Anomi
Kelompok - kelompok ini tidak mempunyai organisasi,
tetapi individu - individu yang terlibat merasa mempunyai perasaan frustasi dan
ketidakpuasan yang sama. Jika keresahan tidak segera diatasi, maka masyarakat
dapat memasuki keadaan anomi, yaitu situasi chaos
dan lawlessness yang diakibatkan
runtuhnya perangkat nilai dan norma yang sudah menjadi tradisi, tanpa diganti
nilai - nilai baru yang dapat diterima secara umum. Contohnya demonstrasi di
Tiananmen Square tahun 1950-an.
2. Kelompok
Nonasosiasional
Kelompok kepentingan ini tumbuh berdasarkan rasa
solidaritas pada sanak saudara, kerabat, agama, wilayah, kelompok etnis, dan
pekerjaan. Kelompok - kelompok ini biasanya tidak aktif secara politik dan
tidak mempunyai organisasi ketat, walaupun lebih mempunyai ikatan daripada
kelompok anomi. Contohnya Paguyuban Pasundan.
3. Kelompok
Institusional
Kelompok - kelompok formal yang berada dalam atau bekerja
sama secara erat dengan pemerintahan seperti birokrasi dan kelompok militer.
Contohnya KORPRI
4. Kelompok
Asosiasional
Terdiri atas serikat buruh, kamar
dagang, asosiasi etnis dan agama. Organisasi - organisasi ini dibentuk dengan
suatu tujuan yang eksplisit, mempunyai organisasi yang baik dengan staf yang bekerja
penuh waktu. Contohnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
5. Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) di Indonesia
Di Indonesia LSM sepadan dengan NSM
serta kelompok kepentingannya, dan dalam banyak hal terinspirasi oleh koleganya
dari luar negeri. Ideologi serta cara kerjanya pun banyak miripnya. Secara
historis di Indonesia, LSM ada sejak awal abad ke-20. Menjelang 1960-an muncul
LSM - LSM yang tidak saja merupakan perwujudan kritik terhadap LSM jenis
sebelumnya, tetapi sekaligus juga perwujudan dari kritik terhadap strategi
pembangunan yang dianut pemerintah yang dikenal sebagai trickle down effect. Roem Topatimasang seorang aktivis LSM senior
di Indonesia, menyebutkan 5 kelompok paradigma, yaitu paradigma kesejahteraan,
paradigma modernisasi, paradigma reformasi, paradigma pembebasan, paradigma
transformasi. Dewasa ini terdapat 4000-7000 LSM di Indonesia belum termasuk
yang timbul-tenggelam dan terbentuk secara mendadak karena ada proyek. Beberapa
persoalan yang dihadapi di antaranya adalah memperbaiki dukungan dan akuntabilitas
keuangan, meningkatkan kecakapan manajemen dan organisasi, meningkatkan
kemampuan advokasi, dan meningkatkan cakupan geografis kegiatannya.
G.
Kesimpulan
Studi tentang partisipasi politik sangat fokus pada
partai politik sebagai pelaku utama, dan kelompok masyarakat muncul akibat demokrasi
semakin berkembang untuk mengambil keputusan tentang kebijakan umum. Definisi
partisipasi politik secara umum yaitu kegiatan seseorang atau kelompok orang
untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan cara
memilih pimpinan negara secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi
politik sangat erat kaitannya dengan kesadaran politik,
Dalam partisipasi politik di negara demokrasi, suatu
bentuk partisipasi yang paling mudah diukur intensitasnya adalah perilaku warga
negara dalam pemilihan umum, antara lain melalui perhitungan persentase orang
yang menggunakan hak pilihnya dibanding dengan jumlah seluruh warga negara yang
berhak memilih. Suara dalam pemilihan umum bukan satu - satunya bentuk
partisipasi. Masih terdapat berbagai bentuk partisipasi lain yang berjalan
secara bertahap dan tidak terbatas pada masa pemilihan umum saja.
Di negara - negara otoriter seperti komunis pada masa
lampau, partisipasi massa diakui kewajarannya, karena kekuasaan ada di tangan
rakyat. Akan tetapi tujuan utamanya yaitu merombak masyarakat yang terbelakang
menjadi masyarakat modern, produktif, kuat, dan berideologi kuat.
Di negara berkembang, partisipasi yang bersifat otonom
artinya lahir dari mereka sendiri dan masih terbatas. Pembangunan yang cepat
dan ikut sertanya benyak kelompok baru dalam politik dalam waktu singkat dapat
mengganggu stabilitas. Dan mereka akan berikhtiar mengendalikan intensitas
partisipasi agar tidak terlalu mengganggu stabilitas nasional.
Partisipasi politik melalui NSM dan kelompok kepentingan
dengan cara menggabungkan diri dengan orang lain menjadi satu kalompok, dengan
tujuan memengaruhi kebijakan pemerintah agar mendapat keuntungan.untuk para
anggotanya.
Beberapa jenis kelompok kepentingan, diantaranya kelompok
anomi (contohnya demo di Tiananmen Square), kelompok nonasosiasional (contohnya
Paguyuban Pasundan), kelompok institusional (contohnya KORPRI), kelompok
asosiasional (contohnya IDI), dan LSM (contohnya Persatuan Keluarga Berencana
Indonesia atau PKBI).
0 comments:
Post a Comment