Wednesday 22 May 2013

Tentang Ideologi


PENGERTIAN IDEOLOGI
1.        Liberalisme
Mengenai konsep liberalisme, dapat kita tarik beberapa pokok pemikiran yang terkandung di dalamnya, sebagai berikut:
1.  inti pemikiran : kebebasan individu
2.  perkembangan : berkembang sebagai respons terhadap pola kekuasaan negara yang absolut, pada tumbuhnya negara otoriter yang disertai dengan pembatasan ketat melalui berbagai undang-undang dan peraturan terhadap warganegara
3.  landasan pemikirannya adalah bahwa menusia pada hakikatnya adalah baik dan berbudi-pekerti, tanpa harus diadakannya pola-pola pengaturan yang ketat dan bersifat memaksa terhadapnya.
4.  system pemerintahan (harus): demokrasi.

2.        Komunisme
Gelombang komunisme abad kedua puluh ini, tidak bisa dilepaskan dari kehadiran Partai Bolshevik di Rusia. Gerakan-gerakan komunisme international yang tumbuh sampai sekarang boleh dikatakan merupakan perkembangan dari Partai Bolshevik yang didirikan oleh Lenin
1.  inti pemikiran: perjuangan kelas dan penghapusan kelas-kelas dimasyarakat, sehingga negara hanya sasaran antara.
2.  landasan pemikiran : a. penolakan situasi dan kondisi masa lampau, baik secara tegas ataupun tidak, b. analisa yang cendrung negatif terhadap situasi dan kondisi yang ada, c. berisi resep perbaikan untuk masa depan dan, d. rencana-rencana tindakan jangka pendek yang memungkinkan terwujudnya tujuan-tujuan yang berbeda-beda.
3.  system pemerintahan (hanya): otoriter/totaliter/dictator.
3.      Sosialisme
Hal-hal pokok yang terkandung dalam Sosialisme, adalah:
1.      inti pemikiran : kolektifitas (kebersamaan) (gotong royong)
2.      filsafatnya : pemerataan dan kesederajatan bahwa pengaturan agar setiap orang diperlakukan sama dan ada pemerataan dalm berbagai hal (pemerataan kesempatan kerja, pemerataan kesempatan berusaha,dll)
3.      landasan pemikiran : bahwa masyarakat dan juga negara adalah suatu pola kehidupan bersama. Manusia tidak bisa hidup sendiri-sendiri, dan manusia akan lebih baik serta layak kehidupannya jika ada kerja sama melalui fungsi yang dilaksakan oleh negara
4.      system pemerintahan (boleh): demokrasi, otoriter
4.      Pancasila
Ideologi Pancasila memiliki arti bahwa pancasila adalah penjelmaan filsafat pancasila itu sendiri. Maka pancasila sebagai ideologi negara dalam arti cita-cita negara, atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan asas kerokhanian, yakni asas yang memiliki derajat tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan.
Maka dengan demikian Pancasila yang merupakan asas kerokhanian harus menjadi pandangan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
Perbedaan Pancasila dan Ideologi Lain Di dunia , terdapat 2 ideologi yang terkenal , yaitu ideology Liberalisme dan ideology Sosialisme . adapun Negara-negara yang menganuti deology Liberalisme dan ideology Sosialisme.
 Negara yang menganut ideology Liberalisme adalah Negara-Negara bagian Barat seperti , Amerika serikatdan Negara-Negara Eropa seperti , Inggris , Belanda ,Spanyol , Italia dll .Sedangkan , Negara yang menganut ideology Sosialisme adalah Uni Soviet ( sekarang Rusia ) , Cina , Korea Utara, Vietnam .

1.      Negara sebagai penjaga malam . Rakyat atau warganya mempunyai kebebasan untuk berbuat atau bertindak apa saja asal tidak melanggar tata tertib hukum .
2.      Kepentingan dan hak warganegara lebih diutamakan daripada kepentingan Negara . Negara didirikan untuk menjamin kebebasan dan kepentingan warga Negara.
3.      Negara tidak mencampuri urusan agama . Agama menjadi urusan pribadi setiap warganegaranya .Negara terpisah dengan agama . Warganegara bebas beragama , tetapi bebas juga tidak beragama.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari:
1.      Seorang warga Negara bebas melakukan hubungan intim dengan syarat mereka telah berumur 18 tahun keatas(karena orang tersebut dianggap sudah dewasa setelah berumur 18 tahun).
2.      Seorang warga Negara di perbolehkan memakai/menyimpan senjata berbahaya seperti pistol dengan tujuan untuk berjaga jaga/untuk melindungi diri mereka.terkecuali mereka berada di dalam tempat keramayan seperti di pesawat terbang(bandara),didalam kereta api,dll.
3.      Seorang warganegara bebas untuk berkreasi sesuai dengan kemauan meraka walaupun hal itu jika di Indonesia tergolong perbuatan yang sangat dilarang, sebagai contoh seseorang membuat website tentang video2 porno online yang sangat banyak kita temui di situs-situs luar negri seperti Negara amerika, namun hal tersebut di Negara mereka tidak dilarang karena menurut pandangan Negara pekerjaan tersebut tidak melanggar undang-undang dan tidak pernah yang merasa rugi dengan adanya situs tersebut.
1.      Mementingkan kekuasaan dari kepentingan Negara
2.      Kepentingan Negara lebih diutamakan daripada kepentingan warga Negara.
3.      Kebebasan atau kepentingan warga negara dikalahkan untuk kepentingan Negara
4.      Kehidupan agama juga terpisah dengan Negara .warga negara bebas beragama , bebas tidak beragama dan bebas pula untuk propaganda (anti-agama) .


Contoh dalam kehidupan sehari-hari:
1.      Apabila seorang warga Negara merasa tidak yakin akan semua agama karena mereka lebih meyakini kepercayaan mereka bebas untuk tidak beragama karena disini Negara tidak mengurus seorang warga Negara untuk harus memiliki satu agama.
2.      Apabila dalam ada suatu warga Negara yang keadaannya terpuruk karena kemiskinan dan mereka menderita penyakit parah Negara bisa menolong dengan program berobat gratis tapi Negara tersebut akan mempertimbangkan apakah ada kepentingan Negara yang lebih dianggap penting untuk mengeluarkan dana,jika ada maka Negara akan di utamakan terlebih dahulu setelah itu baru suatu warga Negara.

3.      Ideologi Pancasila
1.      Hubungan antara warga Negara dengan Negara adalah seimbang Artimya, tidak mengutamakan Negara tetapi juga tidak mengutamakan warganegara.
2.      Kepentingan Negara dan warganegara sama-sama di pentingkan.
3.      Agama erat hubungannya dengan Negara. Setiap warganegara dijamin pula kebebasannya untuk memilih salah satu agama yang ada dan di akui oleh pemerintah .Setiap orang harus beragama, tetapi agama yang dipilih di serahkan kepada masing-masing warganegara. Atheis atau tidak mengaku adanya tuhan tidak diperbolehkan.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari:
1.      Seorang warga Negara di Indonesia harus memiliki agama sesuai dengan agama yang telah di akui oleh pemerintah.
2.      Setiap warganegara diberikan jaminan keamanan dan hak untuk hidup tentram dengan syarat setiap warganegara tersebut juga harus memenuhi apa yang telah di programkan atau peraturan-peraturan pemerintah seperti setiap warganegara wajib untuk membayar pajak bumi dan bangaunan.

1.      Politik liberalisme berpengaruh terhadap perkembangan paham demokrasi dan nasionalisme atas bangsa-bangsa di dunia. Setiap individu mempunyai hak untuk menjalankan kepentingan yang diwujudkan dalam sistem demokrasi liberal sehingga melahirkan fungsi parlemen sebagai lembaga pemerintahan rakyat. Seterusnya, pemilihan umum dilakukan untuk memilih para anggota parlemen, dan setiap orang berhak memberikan satu suara. Dalam pemilu sering terjadi persaingan mencari kekuasaan politik. Masuknya seseorang menjadi anggota parlemen otomatis akan berpengaruh terhadap penetapan undang-undang atau jatuh bangunnya sebuah kabinet.
2.      Bagi bangsa yang sedang terjajah, liberalisme sejalan dengan pertumbuhan paham nasionalisme yang sama-sama menginginkan terbentuknya negara yang berpemerintahan sendiri. Kesadaran tersebut tumbuh karena setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
3.      Dalam bidang agama, penerapan paham liberalisme berarti bahwa setiap individu bebas memilih dan menentukan agamanya sendiri. Hal ini sangat berbeda, misalnya situasi pada masa sebelum terjadinya Reformasi Gereja masyarakat Eropa diwajibkan untuk memeluk agama yang dianut rajanya. Selain itu, liberalisme di bidang agama ini menghendaki adanya kebebasan berfikir individu. Artinya, individu mempunyai hak untuk mengungkapkan ekspresinya dan bukan berdasar atas kehendak gereja. Gejala tersebut pada akhirnya melahirkan Reformasi Gereja yang kemudian memunculkan agama baru, yaitu Kristen Protestan.
4.      Di bidang pers, politik liberalis memungkinkan seorang wartawan bebas memuat berita apa pun yang ia ketahui, sementara para sastrawan bebas mengeluarkan pendapat dan ungkapan hatinya. Masyarakat umum berhak membaca dan menilai sendiri tulisan-tulisan para wartawan dan sastrawan tersebut. Demikian artikel yang menjelaskan definisi, ciri-ciri dan perkembangan paham liberalisme di dunia.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari:
1.      Apabila sekumpulan warganegara atau disuatu daerah merasa pemerintahan tidak memperhatikan mereka maka mereka berhak untuk membentuk suatu Negara baru atau untuk memisah dengan Negara tersebut dan menyatu dengan Negara lain dengan syarat penduduk di daerah tersebut menyetujui dan Negara yang akan di jadikan Negara baru mereka juga menerima mereka.
2.      seorang wartawan/pers bebas memuat suatu berita baik itu berita yang berbau porno maupun berita-berita yang bohong sebagai contoh di amerik serikat ada seorang yang memuat berita-berita bohong seperti mengabarkan tentang hidup kembali raja pop dunia yaitu micheal Jackson dan banyak lagi dimuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan dan situs web itu sangat popular dinegaranya dan bahkan di Indonesia juga sering membuka situs itu dengan tidak disengaja maupun disengaja dan membaca berita bohong tersebut,namun dalam Negara tersebut tidak pernah membatasi apa yang mereka muat tersebut.

Bab 3 LKS PKN | Sistem Politik


II.1      Definisi partai politik
Tidak terdapat pandangan yang tunggal mengenai partai politik (parpol) di kalangan pakar ketatanegaraan atau partai politik. Namun, sebagai gambaran dapat dilihat beberapa pendapat berikut :
Prof. Miriam Budiarjo
Partai politik adalah organisasi atau golongan yang berusaha untuk memperoleh dan menggunakan kekuasaan.
Sigmund Neumann
Partai politik adalah organisasi tempat kegiatan politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan suatu golongan atau golongan – golongan lain yang tidak sepaham.
Prof. E.M. Said
Partai politik adalah suatu kelompok orang yang terorganisasi secara serta berusaha untuk mengendalikan, baik kebijaksanaan pemerintah maupun pegawai negeri.
Carl J. Friedrich
Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisasi secara stabil denga ntujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya sehingga penguasaan itu memberikan manfaat  kepada anggota partainya baik yang bersifat ideal maupun material.

Roger F. Solatau
Partai politik adalah sekelompok warga negarayang sedikit banyak terorganisasi dan bertindak sebagai suatu kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaan untuk memilih dengan tujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.
National Democratic Institute (NDI) mendefinisikan partai politik sebagai berikut :
a.       Suatu organisasi yang anggotanya mempunyai tujuan dan keyakinan yang serupa
b.      Institusi yang sah secara hukum untuk pengakumulasian dan redistribusi kekuasaan, sumber daya dan kesempatan
c.       Jalan utama yang dilalui oleh sejumlah besar masyarakat supaya dapat terlibat dalam proses politik di antara pemilu yang satu dan pemilu berikutnya.

Sedangkan menurut UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita – cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Beberapa definisi di atas menunjukkan adanya peran yang penting dari kehadiran partai dalam suatu Negara. Karena partai merupakan media atau sarana bagi masyarakat untuk mencapi apa yang menjadi kepentingan mereka. 


II.2      Fungsi Partai Politik
Partai politik memiliki fungsi yang sangat signifikan dalam proses keberlangsungan suatu Negara. Hal ini dikarenakan posisi partai politik yang strategis baik secara konstitusi maupun secara  organisasi massa. Dalam buku Dasar – Dasar Ilmu Tata Negara karangan Budiyanto dijelaskan bahwa dalam Negara demokrasi, partai politik memainkan beberapa fungsi  berikut :
II.2.1    Sebagai sarana komunikasi politik
Dengan fungsi ini parpol berperan sebagai penyalur aspirasi dan pendapat rakyat, menggabungkan berbagai macam kepentingan (interest aggregation), dan merumuskan kepentingan (interest articulation) yang menjadi dasar kebijaksanaannya. Selanjutnya, parpol akan memperjuangkan agar aspirasi rakyat tersebut dapat dijadikan kebijaksanaan umum (public policy) oleh pemerintah.
II.2.2    Sebagai sarana sosialisasi politik
Dengan fungsi ini parpol berperan sebagai sarana untuk memberikan penanaman nilai – nilai, norma, dan sikap serta orientasi terhadap fenomena politik tetentu. Upaya parpol dalam sosialisasi politik, antara lain melalui :
a.       Penguasaan pemerintah dengan memenangkan setiap pemilu
b.      Menciptakan image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum, dan
c.       Menanamkan solidaritas dan tanggungjawab terhadap para anggontanya maupun anggota lain (in-group dan out-group)
d.      Di negara – negara baru (berkembang) fungsi parpol juga berperan untuk memupuk identitas dan integrasi nasional.
II.2.3    Sebagai sarana rekruitmen politik
Dengan fungsi ini parpol mencari dan mengajak orang yang memiliki kompetensi  untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota dari partai, abaik melalui kontak pribadi maupun melalui persuasi. Dalam hal ini, parpol juga memperluas keanggotaan partai, sekaligus mencari kader militan yang dipersiapkan untuk mengganti pemimpin yang lama (selection of leadership)
II.2.4    Sarana pengatur konflik
Dengan ini parpol berfungsi untuk mengatasi berbagai macam konflik  yang muncul sebagai konsekuensi dari negara demokrasi yang di dalamnya terdapat persaingan dan perbedaan pendapat. Biasanya masalah – masalah tersebut cukup mengganggu stabilitas nasional. Hal itu mungkin saja dimunculkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan popularitasnya.
Menurut Sigmund Neumann, fungsi partai politik di negara demokrasi adalah untuk mengatur keinginan  dan aspirasi golongan – golongan di dalam masyarakat. Sementara itu, di negara – negara komunis, fungsi partai adalah untuk mengendalikan semua aspek kehidupan secara monolitik dan rakyat dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan hidup yang sejalan dengan kepentingan partai (enforcement of conformity).
Sedangkan National Democratic Institute menjelaskan bahwa fungsi utama Fungsi dari partai politik adalah untuk secara bersama-sama membawa sekumpulan kepentingan-kepentingan – sejumlah warga negara dengan pandangan dan kebutuhan yang sama – dalam proses politik.  Juga, untuk memungkinkan adanya persaingan antara kelompok-kelompok kepentingan tersebut. Secara umum terinci sebagai berikut :
a.       Partai-partai memobilisasi dukungan saat pemilu untuk para kandidat mereka dengan tujuan untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan
b.      Kandidat, pemimpin, anggota, dan aktivis partai politik memobilisasi dan mendidik para pemilih.
c.       Partai-partai mengumpulkan (aggregate) kepentingan-kepentingan tersebut supaya bisa menawarkan seperangkat alternatif kebijakan dan pilihan kepada pemilih.
d.      Partai politik memainkan sebuah peranan penting dalam proses transfer nilai-nilai politik demokratis dan kultural dari satu generasi ke generasi selanjutnya – vital bagi stabilitas dan evolusi yang baik dari sebuah negara.
e.       Sebuah partai dalam parlemen juga mempunyai fungsi penting untuk mempengaruhi para eksekutif tentang ide-ide atau posisi kebijakan mereka sendiri.
Dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 di jelaskan bahwa partai politik berfungsi sebagai :
a.       pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b.      penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c.       penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d.      partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e.       rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.


II.3      Teori dan Analisis Fungsi Parpol
Gabriel A. Almond dalam teori struktural fungsionalnya (teori labu) menjelaskan bahwa terdapat pola hubungan yang saling ketergantungan antar elemen – elemen yang dijelaskan seperti bagan di bawah ini. KK (kelompok kepentingan) dan parpol menjadi dua elemen mendasar yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Hal ini karena keduanya melibatkan segala kebutuhan masyarakat untuk artikulasi kepentingan dan agregasi politik yang pada akhirnya berujung pada kebijakan apa yang akan dikeluarkan oleh masyarakat.
Di sinilah peranan partai politik menjadi sangat penting dalam fungsi yang harus dijalankannya. Artinya partai harus mampu konsisten dengan fungsi yang dimilikinya. Sebagai permasalahan utama dalam analisis ini, adalah konsistentsi fungsi partai dengan penerapan yang dilakukan partai di Indonesia. Partai sebagai salah satu pilar demokrasi diharapkan mampu menjalankan tugas dan fungsi yang dimilikinya. Fungsi utama partai seperti yang dikemukakan di atas secara sederhana terdiri atas fungsi sosialisasi politik, komunikasi politik, dan rekruitasi politik. Ketiga fungsi ini sangat erat kaitannya dengan masyarakat.
Pada tahapan sosialisasi politik dijelaskan bahwa menunjuk pada proses – proses pembentukan sikap – sikap politik dan pola – pola tingkah laku. Di samping itu sosialisasi politik juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan patokan – patokan dan keyakinan – keyakinan politik kepada generasi sesudahnya. Ada dua hal yang harus diperhatikan mengenai proses sosialisasi politik ini. Pertama sosialisasi itu berjalan terus – menerus selama hidup seseorang. Sikap – sikap yang terbentuk selama masa kanak – kanak selalu disesuaikan atau diperkuat sementara ia menjalani berbagai pengalaman sosial. Kedua, sosialisasi politik dapat berwujud transmisi dan pengajaran yang langsung maupun tidak langsung. Sosialiasi bersifat langsung kalau melibatkan komunikasi informasi, nilai – nilai, atau perasaan – perasaan mengenai politik secara eksplisit. Sosialiasasi politik tak langsung terutama sangat kuat berlangsung di masa kanak – kanak, sejala ndengan berkembangnya sikap penurut atau sikap pembangkang. Sosialisasi politik membentuk dan mewariskan kebudayaan politik suatu bangsa. Sosialisasi politik juga bisa memelihara kebudayaan politik suatu bangsa dalam bentuk pewarisan kebudayaan itu oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya. Sosialisasi politik sangat erat kaitannya dengan pendidikan politik. Di Indonesia secara konsepsi sosialiasi politik ini sudah dijelaskan dalam sistem pendidikan nasional (sisdiknas). Berbagai tingkatan pendidikan yang ada di Indonesia secara langsung maupun tidak langsung memasukkan materi tentang pendidikan politik ini. Peranan partai politik seharusnya berjalan beriringan dengan kurikulum yang telah ada dalam sistem pendidikan nasional. Seperti yang dikemukakan oleh Almond di atas, bahwa politik tidak bisa dipisahkan oleh adanya budaya politik, begitu juga yang ada di Indonesia. Pola sosialisasi politik yang seharusnya mengarah pada pendidikan politik malah cenderung mengarah kepada pembodohan masyarakat dalam politik. Bagaimana tidak, masyarakat dihadapkan pada fenomena – fenomena sosialisasi yang sarat dengan kepentingan – kepentingan kelompok tertentu. Kenyataan yang ada di masyarakat pun membuktikan bahwa kepentingan ini cenderung bersifat jangka pendek dan hanya mengarah pada pola pencapaian kekuasaan yang sifatnya sangat tidak mendidik. Misalnya, dalam rangka sosialisasi calon legislatif, partai kurang menekankan pada pendidikan politik seperti visi dan misi yang ditawarkan, platform apa yang akan dibawa, atau apa yang akan diberikan jika calon terpilih. Partai lebih menekankan pola – pola sosialisasi instan yang hanya mengharapkan agar bagaimana pemilih memilih mereka tanpa mempertimbangkan sisi dari pendidikan politiknya. Kasus seperti pemberian barang dengan maksud agar dipilih atau fenomena operasi fajar menjadi suatu hal yang lumrah di kalangan politisi di Indonesia.
lnternasional







Partisipasi dinilai sebagai media menyampaikan atau ikutsertanya masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik (public policy), beberapa hal yang menyangkut hal ini adalah Komunikasi Politik dan persepsi terhadap partai politik.Komunikasi politik menjadi fungsi penting kedua yang harus dilaksanakan oleh suatu partai. Titik tekan dalam fungsi ini adalah bagaimana partai mampu menyampaikan pesan politik yang dibuatnya agar bisa diterima atau dipahami oleh masyarakat.Komunikasi politik yang ada di Indonesia secara umum tidak bisa dinilai efektif mengingat rendahnya pendidikan masyarakat dan pemahaman yang rendah akan politik, sehingga political willnya tidak jelas. Partisipasi politik harus difasilitasi dengan komunikasi politik yang baik, penilaian yang baik dan hubungan yang sinergis antara partai dengan masyarakat. Jika tidak partisipasi tidak akan pernah ada. Beberapa kendala yang dihadapi adalah rendahnya pendidikan masyarakat.
Fungsi ketiga yang harus dilaksanakan oleh partai adalah fungsi rekruitmen, di mana secara sederhana partai melakukan rekruitasi pada masyarakat yang dinilai memiliki kompetensi dalam dunia politik. Pada tahapan ini partai politik diharapkan mampu menjaring SDM terbaiknya. Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik. Pada implementasinya beberapa partai cenderung lebih mengandalkan ketokohan daripada kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang kader. Sebagai contoh fenomena artis masuk bursa caleg menjadi catatan tersediri bahwa dalam proses perekrutan partai lebih memilih popularitas daripada kapabilitas yang harus dimiliki. Hal ini tentunya sangat berdampak pada bagaimana seorang aktor politik menjalankan tugasnya.  

Eksistensi Negara Dunia Ketiga

Semakin pesatnya perkembangan dunia terutama dalam bidang ekonomi telah banyak membawa dampak baik positif maupun negatif bagi Negara – negara di dunia. Krisis ekonomi global yang terjadi saat ini menjadi pelajaran yang penting bagi setiap Negara yang ada di dunia, tidak terkecuali Indonesia yang sampai sejauh ini masih berada pada kategori Negara berkembang atau biasa disebut dengan Negara dunia ketiga. Fenomena menarik ini tidak bisa dilepaskan dari adanya saling ketergantungan antara Negara – negara yang ada di dunia ini. Sejarah telah membuktikan bahwa sampai pada abad ini belum ada Negara yang benar – benar mandiri tanpa tergantung dengan Negara lain.
Terdapat sedikitnya dua teori yang dapat digunakan sebagai dasar analisis untuk menjawab kenapa sampai sejauh ini Negara – negara dunia ketiga cenderung stagnan dalam perkembangannya terutama jika dihubungkan dengan dunia internasional. Diantaranya adalah teori modernisasi dan teori ketergantungan. Koenjtaraningrat dalam bukunya yang berjudul “Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan” menyatakan bahwa apabila suatu bangsa dengan sadar memulai proses modernisasinya, maka sebenarnya ia hanya mau menyeseuaikan diri dengan konstelasi dunia pada zaman bangsa itu hidup. Dalam arti itu, maka segala zaman, dan tidak hanya abad ke – 20 ini, pernah mengalami suatu usaha dan proses modernisasi. Koentjaraningrat mendefinisikan modernisasi sebagai suatu usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang. Modernisasi berawal dari pertanyaan yang timbul akibat dari adanya teori pembagian kerja. Yang pada intinya pertanyaan tersebut mengarah pada mengapa terjadi dua kelompok Negara, yaitu Negara – negara miskin yang biasanya Negara pertanian atau biasa dikenal dengan Negara dunia ketiga, dan Negara – negara kaya yang biasanya adalah Negara industri. Dalam bukunya yang berjudul “Teori Pembangunan Dunia Ketiga”, Arief  Budiman menjelaskan bahwa secara umum terdapat dua kelompok teori. Pertama, teori – teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh faktor – faktor internal atau faktor- faktor yang terdapat di dalam negeri Negara yang bersangkutan, dalam kelompok ini termasuk teori modernisasi. Kedua, teori – teori yang lebih banyak mempersoalkan faktor – faktor eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di Negara – negara tertentu. Dan teori ketergantungan masuk dalam kategori ini.
Beberapa tokoh yang sejalan dengan teori modernisasi ini diantaranya adalah Evsey Domar dan Roy Harrod dengan teorinya yang terkenal dengan teori Harrod – Domar yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi serta pembangunan hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi, Max Weber dengan teori Etika protestan yang menekankan pada nilai – nilai budaya, David McClelland dengan konsepnya yang terkenal dengan the need for achievement, W.W. Rostow dengan lima tahapan pembangunan. Meskipun konsentrasi dari masing – masing tokoh berbeda tetapi pada dasarnya beberapa tokoh yang telah disebutkan di atas sepakat bahwa perubahan ke arah yang lebih modern itu sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Teori ini didasarkan pada dikotomi antar apa yang disebut modern dan yang disebut tradisional. Yang modern merupakan simbol kemajuan, pemikiran  yang rasional, cara kerja yang efisien, dan seterusnya. Masyarakat modern diangggap sebaga ciri dari masyarakat di Negara – negara industri maju. Sedangkan masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang belum maju, ditandai  oleh cara berpikir  yang irasional serta cara kerja yang tidak efisien.Teori modernisasi juga didasarkan pada faktor – faktor non-material sebagai penyebab kemiskinan, khususnya dunia ide atau alam pikiran. Begitu halnya yang terjadi di Indonesia. Koentjaraningrat dengan tegas membedakan antara konsep modernisasi dengan westernisasi, Artinya bahwa kita sebagai bangsa Indonesia harus tetap mempertahankan nilai – nilai yang ada dalam bangsa ini terutama dalam mengadopsi konsep – konsep yang ada di Negara – negara yang sudah maju (thing global local act). Sejauh ini memang persoalan yang ada di Indonesia selalu dihadapkan dengan das sein das sollen, pada kenyataannya modernisasi yang diadopsi oleh bangsa ini malah justru memiliki kecenderungan ke arah westernisasi. Studi kasus dengan permasalahan di Indonesia baik ditinjau dari sisi ekonomi, politik, sosial ataupun budaya menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih berada dalam kelompok tradisional. Hal ini dikarenakan baik orang – orangnya maupun nilai – nilai yang hidup di masyarakat tersebut masih belum modern, sehingga tidak menopang proses pembangunan.
Teori selanjutnya yang dapat digunakan adalah teori ketergantungan. Theotonio Dos Santos memberikan definisi yang dimaksud dengan ketergantungan adalah keadaan di mana kehidupan ekonomi Negara – negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi Negara – negara lain, di mana Negara – negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima saja. Hubungan saling tergantung antara dua sistem ekonomi atau lebih, dan hubungan antara sistem – sistem ekonomi ini dengan perdangan dunia, menjadi hubungan ketergantungan bila ekonomi beberapa Negara (yang dominan) bisa berekspansi dan bisa berdiri sendiri, sedangkan ekonomi Negara – negara lainnya (yang tergantung) mengalami perubahan hanya sebagai akibat dari ekspansi tersebut, baik positif mapun negatif. Penjelasan Dos Santos di atas cukup memberikan gambaran meskipun ketergantungan yang dimaksud tidak hanya dari sisi ekonomi saja. Indonesia sebagai Negara yang berkembang sangat membutuhkan bantuan dari Negara lain. Eksistensi Indonesia dalam dunia internasional tidak bisa dilepaskan dari adanya ketergantungan ini. Indonesia dalam mengembangkan baik sektor ekonomi, politik maupun sektor lainnya tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan dunia internasional. Pada awalnya teori ini hanya melibatkan antara Negara industri sebagai pihak produsen dan Negara pemasok bahan mentah sebagai pihak yang memberikan bahan – bahan industri yang tidak ada dalam Negara tersebut. Hubungan timbal balik yang terjadi pun secara sederhana digambarkan bahwa kedua Negara tersebut saling membutuhkan satu sama lain. Artinya bahwa tidak akan ada negara industri tanpa ada Negara yang memasok kebutuhan industrinya begitu juga sebaliknya. Namun  dalam perkembangannya Negara industri memiliki kecenderungan yang lebih jika dibandingkan dengan Negara pemasok tadi. Bentuk hubungannya pun tidak jauh berbeda antara seorang majikan dengan pembantu. Beberapa tokoh dalam aliran ini diantaranya adalah Adre Gunder Frank menyatakan bahwa ketergantungan adalah akibat proses kapitalisme global, di mana Negara – negara pinggiran mendapat peran sebagai pelengkap atau penyerta saja. Negara pinggiran atau Negara satelit bisa digambarkan sebagai Negara dunia ketiga termasuk dalam kategori ini adalah Indonesia. Terjadinya kasus ekonomi global menjadi suatu pelajaran yang berarti bagi Negara – negara satelit ini termasuk Indonesia. Meskipun tidak secara langsung mengalami krisis namun karena ketergantungan yang ada Negara – negara satelit ini ikut terkena dampak. Pada kesimpulannya pembangunan suatu Negara baik secara lokal maupun internasional sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan pada penentuan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Berbagai permasalahan yang terjadi hendaknya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan akan dibawa ke mana Negara ini ke dapannya.

Kehidupan Berpolitik


Kehidupan politik yang dilihat sebuah sistem dari suatu kegiatan dimana kegiatan tersebut saling berhubungan untuk menerapkan asumsi implisit kesaling hubungan bagian-bagian tersebut sebagai pangkal tolak berpikir dalam melaksanakan suatu penelitian, dan untuk memandang kehidupan politik sebagai suatu sistem kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan. Suatu sistem politik tidak hidup dalam suatu ruang hampa dan senantiasa hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan ini dapat dibedakan menjadi lingkungan domestik dan internasional. Salah satu sifat penting sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem lainnya, seperti organisme atau individu.
Pemahaman tentang struktur dan budaya politik memegang peran penting dalam memahami kerangka kerja sistem politik. Sistem politik memerlukan badan-badan atau struktur-struktur yang akan bekerja dalam sistem politik seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang melaksanakan kegiatan atau fungsi-fungsi tertentu. Dalam suatu sistem politik, biasanya, terdapat fungsi yang hampir selalu ada, fungsi tersebut adalah kapabilitas atau kemampuan system politik.
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional. Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Menurut Almond, untuk menetukan realitas kegagalan sistem politik, memerlukan serangkaian parameter yang sekaligus pemenuhan didalamnya menjadi sebuah tawaran solusi. Dikatakan bahwasanya setiap sistem politik harus memiliki enam jenis kemampuan, yaitu :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan daripada sistem politik dalam mengelola sumber-sumber material dan manusiawi dari lingkungan dalam maupun luar. Kemampuan ini dapat dilihat dari berbagai segi, salah satunya adalah jumlah sumber yang masuk ke dalam sistem politik dari berbagai tingkatan – baik tingkatan nasional, regioanal, maupun lokal – serta darimana sumber-sumber itu berasal.
2. Kapabilitas Regulatif, yakni kemampuan daripada sistem politik untuk mengendalikan atau mengatur tingkah laku individu-individu atau kelompok individu yang ada di dalam suatu sistem politik. Point ini biasanya dilakukan dengan cara menerapkan peraturan-peraturan secara umum, dimana tolok ukur penilaiannya terletak pada sejauh mana pola-pola tingkah laku dari pada individu-individu yang ada beserta berbagai bidang di dalamnya dapat diatur oleh suatu sistem politik.
3. Kapabilitas Distributif, yakni kemampuan suatu sistem politik dalam mengalokasikan atau mendistribusikan sumber-sumber material dan jasa-jasa kepada individu dan kelompok yang ada di dalam masyarakat.
4. Kapabilitas Simbolik, yakni kemampuan yang memeberikan gambaran tentang efektifitas mengalirnya symbol-simbol daripada suatu sistem politik ke dalam maupun ke luar. Kurangya kepercayaan lingkungan atas symbol-simbol itu, bisa menyebabkan timbulnya kritikan dan ejekan terhadapnya. Daan efektif tidaknya kepercayaan lingkunagan atas symbol tersebut, merupakan salah satu faktor penting yang menetuklan tingkat kemampuan sistem politik.
5. Kapabilitas Responsif, yakni kemampuan sistem politik untuk menanggapi tuntutan-tuntutan, tekanan-tekanan, ataupun dukungan-dukungan yang berasal dari lingkungan dalam mapun luar. Tinggi-rendahnya kemampuan ini dapat diukur dari tingkat kepekaan sistem politik terhadap arus tuntutan, tekanan, atau dukungan itu tadi.
6. Kapabilitas Domestik dan Internasional, yakni kemampuan yang memperlihatkan suatu keberadaan sistem politik di lingkungan dalam (domestik) maupun luar (internasional).
Dengan alat Bantu (tools) enam parameter kemampuan diatas, kita harus dapat berupaya membaca apa sebenarnya dasar permasalahan terjadi dalam pemerintahan kita. Dan hal ini harus kita lakukan secara kasus-per kasus, kalaupun kita bisa menemukan korelasinya secara implicit maupun eksplisit penyelsaiannya pun juga harus bisa dilakuakan sama-sama secara seksama.
Tingkah laku suatu system politik dapat dilihat dari kemampuan-kemampuan/kapabilitas sekstraktif, regulatife, distributife, responsive dan simbolik secara internasional.
Factor-faktor yang mempengaruhi kemampuan/kapabilitas system politik adalah :
a. Tanggapan/respon dari para elit politik terhadap input (tuntutan-dukungan), baik dari masyarakat sendiri maupun dari masyarakat internasional.
b. Sumber-sumber material yang diperlukan untuk melaksanakan/menjalankan system poltik.
c. Aparat-aparat organisasi/birokrasi dari system politik dengan kata lain : apakah birokrasi berjalan secara efektif.
d. Tingkat dukungan terhadap system politik itu.
Sejak reformasi sistem politik Indonesia menunjukkan kinerja yang buruk. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya keseluruhan kapabilitas yang dimiliki oleh sistem politik, yakni kapabilitas ekstraktif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, dan kapabilitas regulatif.
Ketidakmampuan sistem politik tampak dalam mendayagunakan sumber-sumber material dan sumber daya manusia yang melimpah. Sekalipun Indonesia memiliki sumber alam yang melimpah yang bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran misalnya, tetapi sistem politik tidak mempunyai komitmen yang sungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Sumber daya alam tetap menjadi monopoli kelompok masyarakat tertentu, dan kemiskinan tetap menjadi persoalan yang tetap tidak pernah diselesaikan dari waktu ke waktu. Buruknya kapabilitas ekstraktif di atas juga berimbas pada buruknya kapabilitas distributif sistem politik Indonesia.
Hingga saat ini, masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius. Malahan ada kecenderungan semakin memburuk mengenai hal ini. Kebijakan ekonomi neoliberal yang semakin intensif dilakukan oleh pemerintahan SBY telah membuat ketimpangan dan kesenjangan antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin semakin memprihatinkan. Biaya pendidikan semakin mahal sehingga hanya kelompok tertentu saja yang mampu mengakses, demikian pula dalam pelayanan kesehatan. Semakin mahalnya biaya kesehatan membuat masyarakat miskin tidak lagi memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, sementara kelompok yang kaya dapat memilih jenis pelayanan kesehatan apapun, termasuk pelayanan standar internasional.
Buruknya kapabilitas simbolik bisa dilihat dari perilaku elite politik yang tidak bisa melakukan empati diri di tengah kemiskinan yang berlangsung akut. Para elite politik tetap hidup dengan gaji dan gaya hidup yang sangat berlebihan, sementara pada waktu yang sama, sebagian besar masyarakat hidup dalam serba kekurangan dan penderitaan yang mengenaskan. Buruknya kapabilitas responsif ditunjukkan oleh sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan rakyat. Sistem politik demokrasi pada dasarnya bukan hanya sistem politik yang semata-mata menyandarkan pada ada tidaknya proses pemilihan pemimpin secara adil dan jujur, berlangsung secara reguler menurut tradisi demokrasi Schumpeterian.
Lebih dari itu, sistem politik demokrasi adalah sistem politik yang mempunyai tingkat kepekaan dan tanggung jawab (accountability) terhadap masyarakat luas atau warganegara. Dalam kenyataannya, sistem politik demokrasi yang muncul pada era reformasi tidak menunjukkan responsivitas terhadap tuntutan-tuntutan dari masyarakat luas. Sistem politik masih tetap merepresentasikan dirinya sebagai sistem patrimonial otoriter yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan sistem politik Orde Baru.
Di sisi lain, pelembagaan politik melalui partai berlangsung sangat lamban. Partai politik yang seharusnya menjadi media partisipasi, artikulasi, dan agregasi kepentingan masyarakat luas, pada kenyataannya hanya menjadi alat meraih kekuasaan politik, dan elite partai politik terlibat dalam konflik-konflik yang tidak produktif. Sementara itu, kapabilitas regulatif sistem politik juga tidak kalah buruknya. Jika sistem politik dimaknai sebagai semua interaksi yang mempengaruhi semua penggunaan paksaan fisik yang sah, maka dapat dilihat bagaimana ketidakefektifan sistem politik dalam hal ini. Dalam sistem politik demokrasi yang mendasarkan pada legalitas hukum, sebagaimana di Indonesia, teramat mudah ditemukan kelompok-kelompok preman yang sewaktu-waktu dapat memaksakan kehendak dan kepentingan mereka dengan kekerasan tanpa aparat negara mampu mencegahnya. Kasus-kasus pengrusakan kantor atau tempat ibadah dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Tentunya, kondisi seperti ini sangat buruk bagi kinerja sistem politik.
Bagaimanapun sistem politik harus mampu untuk melindungi warganegara dan hak miliknya dari tindakan kekerasan dan pengrusakan. Rendahnya kapabilitas regulatif bisa dilihat pula dari ketidakmampuan sistem politik dalam mengadili para koruptor kelas kakap dan para pelanggar HAM. Buruknya kapabilitas sistem politik tentunya berimbas pada buruknya atau rendahnya kinerja sistem politik Indonesia. Hal ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari ketiadaan perubahan budaya politik yang menopangnya. Sekalipun struktur politiknya telah mengalami perubahan menjadi lebih demokratis, tetapi tidak pada budaya politiknya. Budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial, berorentasi kepada kekuasaan dan kekayaan (power and wealth), dan bersifat sangat paternalistik.
Buruknya kinerja sistem politik tentu sangat merncemaskan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam sebuah era globalisasi neoliberal. Untuk bisa survive, dan sekaligus tidak menjadi pecundang (the looser), negara harus kuat dan tangguh dalam pengertian memiliki power and wealth. Namun dalam kenyataannya, Indonesia telah menjadi negara yang sangat lemah (a very weak state), padahal mempunyai sumber daya alam yang sangat melimpah. Ini karena buruknya kinerja sistem politik dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa dan negara. Dalam pandangan Chomsky, Indonesia bisa dimasukkan ke dalam apa yang disebutnya sebagai negara yang gagal atau a failed state.
Pada masa sekarang ini juga, sistem politik Indonesia Selalu saja ada perbedaan antara harapan masyarakat dengan realitas kebijakan lembaga-lembaga pemerintah. Entah itu lembaga eksekutif, legislatife, bahkan yudikatif sekalipun. Entah itu di tingkatan nasional, regional, dan lokal; bahkan tingkatan desa sekalipun.
Tentunya hal ini menjadi keprihatinan bagi kita semua yang merasakan adanya ketidakadilan didalamnya, yang merasakan adanya penghambatan atas yang hak dan – mungkin - pengutamaan akan yang bathil. Di saat semua kelembagaan pemerintahan dapat ikut bergerak bersama harapan ‘reformasi’ dari masyarakat, dan menjadi motor penggerak ke arah pembangunan demokrasi di negara ini.
Kegagalan secara mekanik dari lembaga-lembaga politik yang ada jelas salah satu contohnya ternyata menghasilkan kasus-kasus seperti. Selisih pendapat perihal pemanggilan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan sebagai saksi yang mengakibatkan tertundanya sidang perkara Harini Wijoso dan Pono Waluyo membuat geregetan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). mereka menuding penolakan ketua majelis hakim Kresna Menon atas permohonan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menghadirkan Bagir sebagai bentuk esprit de corps untuk melindungi atasan. Selain itu, mereka mengecam indikasi intimidasi yang dilakukan oleh salah satu hakim agung dalam proses pemanggilan hakim tindak pidana korupsi (Tipikor).
Namun penjelasan yang mendalam terkait masing-masing kasus tidak bisa menggambarkan dimana letak kesalahan konseptual politik yang seharusnya. Dilihat dari logika kompetensi fungsi dan wewenang politik serta pengambil kebijakan (decision maker), pada dasarnya adalah kegagalan setiap lembaga politik beserta individu-individu yang ada didalamnya. Presiden-DPR-MA-Kejagung, Gubernur-DPRD Propinsi-PT-Kejati, Walikota/ Bupati-DPRD Kab/ Kota-PN-Kejari; bahkan hingga Kepala Desa-BPD sekalipun. Ini Adalah kegagalan mereka dalam untuk bekerja di dalam sistem politik dimana mereka berada.
Besarnya pengaruh kinerja lembaga-lembaga politik yang ada, - yang ada dalam sistem politik -, dapat dilihat dari eksistensi lembaga-lembaga (struktur-struktur) politik tersebut dalam sistem politik.
Ketika ada berbagai lembaga politik, yang tentunya sudah pasti berada dalam suatu sistem politik tertentu, tidak bisa mngejewantahkan ciri-ciri ini menjadi gambaran ‘kecil’ dari kinerjanya maka sudah tentu akan hanya ada satu sintesis yang biasa kita alamatkan padanya. Kegagalan. Kegagalan suatau sistem politik untuk bekerja secara maksimal di tengah iklim dan harapan politik yang begitu kondusif, merupakan hal yang patut disesali, walaupun sebenarnya bagi sebagian kalangan hal ini merupakan hal yang menarik untuk dipelajari.
Lembaga politik tersebut tidak bisa menunjukkan eksistensinya dengan memiliki keempat cirri-ciri tersebut. Dengan demikian permasalahan ini akan berdampak pada kualitas serta kuantitas kinerja yang dapat dilakukannya dalam sistem politik tersebut. Lihatlah peristiwa ’98 dimana Soeharto tidak mau menerima tuntutan dari mahasiswa kala itu untuk turun sehingga akhirnya dia harus menyerah juga. gambaran noumena ini adalah relaitas yang mudah ditemui di sekitar kita. Dalam berbagai tingkatan sistem politik di bumi pertiwi ini.
Di era pemerintahan SBY ini, sistem politik di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat rendahnya kapabilitas yang dimilki oleh sistem politik yaitu kapabilitas ekstraktif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, dan kapabilitas regulatif.
Buruknya kapabilitas simbolik bisa dilihat dari perilaku elit politik yang bisa melakukan empati di tengah kemiskinan. Dan di sisi lain kelembagaan politik berlangsung sangat lambat partai poltik seharusnya menjadi media partisipasi, artikulasi dan agregasi kepentingan luas tetapi kenyataanya hanya menjadi alat meraih kekuasaan politik dan elit politik terlibat dalam konflik-konflik yang tidak produktif.
Juga, sistem politik Indonesia Selalu saja ada perbedaan antara harapan masyarakat dengan realitas kebijakan lembaga-lembaga pemerintah. Baik itu lembaga eksekutif, legislatife, bahkan yudikatif sekalipun. Entah itu di tingkatan nasional, regional, dan lokal; bahkan tingkatan desa sekalipun.